Kamis, 09 Juni 2011

AGROFORESTRI


PENGARUH AGROFORESTRY TERHADAP PENDAPATAN PETANI
AGROFORESTRY KARET
Pengelolaan kebun karet dengan sistem Agroforestry Karet ini secara umum terdapat tiga bentuk kebun Agroforestry Karet dalam masa pengelolaannya, yaitu:
- Karet tumpangsari (KTS) dimana karet berumur dibawah 2 tahun ditumpangsarikan dengan tanaman semusim.
- Tanaman belum Menghasilkan (TBM) yaitu karet berumur 2 atau 3 tahun sampai dengan karet mulai disadap sekitar umur 8 tahun
- Tanaman Menghasilkan (TM) yaitu karet umur lebih dari 8 tahun atau sudah disadap.

            Dari hasil wawancara rata-rata produksi getah karet pada kebun AgroforesAtry Karet di Sepunggur adalah sebesar 1127,45 Kg/Ha/tahu. Besar kecilnya produksi getah yang dihasilkan dapat dipengaruhi antara lain oleh: luas kebun, jumlah pohon karet yang disadap, frekuensi penyadapan, dan umur karet. Selain dari hasil getah karet, petani umumnya memiliki hasil tambahan dari tanaman keras ataupun buah-buahan, seperti kayu manis (Cinnamomum burmanii), petai hutan (Parkia speciosa), jengkol (Pithecellebium jiringa), durian (Durio zibethinus), rambutan (Nephelium lappaceum), Kabau (Pithecolobium bobalium), kopi (Coffea sp.), dan lain-lain.
            Hasil-hasil tanaman produksi selain getah karet ini kurang diperhatikan pemeliharan-nya, dan hanya sebagai hasil sampingan saja. Umumnya hasil-hasil tersebut hanya dikonsumsi sendiri oleh petani. (subsistance). Dari hasil penelitian terhadap 30 responden, rata-rata pemilikan kebun Agroforestry

            Karet yang telah menghasilkan adalah 3,4 Ha dengan rata-rata hasil produksi masing-masing komoditi selama satu tahun ini menunjukkan bahwa karet menghasilkan kontribusi sebesar Rp.5.917.732,50 per tahun (93,88%), jengkol Rp.146.239,17 per tahun (2,32%), tanaman semusim (padi ladang, cabe, ubi,terung) sebesar Rp.174.754,84 per tahun (1,43%), kemudian kopi Rp.73.693,33 per tahun (1,17%), durian Rp.39,516,13 per tahun (0,32%), rambutan Rp.38.870,97 per tahun (0,32%), kayu manis Rp.33.432,26 per tahuan (0,27%), petai Rp.12.350,00 per tahun (0,20%), kabau Rp.1.729,03 per tahun (0,01%), dan hasil lainnya (kelapa, nangka, kemiri) sebesar Rp.9.032,26 per tahun (0,07%) (Tabel dibawah)

AGROFORESTRY MANGGIS

Keterangan :
a        : Penataan tanaman manggis dan semusim yang berbeda strata tidak menimbulkan kompetisi yang negatif dalam mendapatkan cahaya matahari.
b       : Perbedaan perakaran pada tanaman tahunan dan semusim tidak menimbulkan kompetisi dalam memperebutkan kebutuhan hara dan air
c        : Daun dan ranting yang kering menghasilkan seresah yang sangat bermanfaat bagi lingkungan pertumbuan tanaman

Tabel tersebut menggambarkan bahwa kontribusi pendapatan tertinggi (79,0 %) disumbangkan oleh tanaman manggis, meskipun demikian keberadaan tanaman lainnya khususnya pisang dan papaya yang dapat dipanen setiap saat merupakan kontribusi pendapatan harian yang sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup keseharian petani.  Sedangkan tanaman pembatas dan pagar  lahan yang biasanya terdiri dari kayu-kayuan (timber) seperti mahoni dan  gamal hasilnya tidak pernah dijual karena untuk keperluan bangunan dan keseharian rumah tangga sendiri.

AGROFORESTRY Aghatis, KOPI dan RUMPUT GAJAH
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa RPH Kedung Rejo di petak 29 B memiliki tanaman pokok A. alba yang di bawah tegakan ditanami dengan tanaman pertanian sayuran dan juga ditanami dengan tanaman kopi dan rumput gajah, pada model agroforestry Agathis – kopi, tanaman Agathis memiliki tinggi rata- rata 21,16 m dan diameter ratarata 0,22 m, sedangkan pada model agroforestry Agathis – rumput gajah tinggi ratarata Agathis 19,95 m dan diameter rata-rata 0,19 m. Pendapatan petani kopi rata-rata sebesar Rp 8.414.040,dan pendapatan petani rumput gajah rata-rata Rp 4.142.980,. Nilai B/C ratio pada model agroforestry Agathis – kopi adalah 5,2 yang menunjukkan bahwa model agroforestry tersebut mempunyai keuntungan ekonomi bagi petani dan nilai B/C ratio pada model agroforestry Agathis – rumput gajah adalah 5,9 yang berarti bahwa model agroforestry tersebut secara ekonomi menguntungkan petani.
AGROFORESTRY   DAMAR


Damar pohon biasanya pertama disadap dari usia 20-25 tahun, atau jika diameter pohon mencapai> 25 cm. Hasil dari damar per pohon di desa Panengahan (166 g/tree/ month-905 g / pohon / bulan) lebih rendah daripada di desa Pahmongan (1.500g/pohon/bulan). Jenis agroforest damar, tahapan, elevasi, kerapatan total-pohon-spesies, kepadatan menepuk-damar-pohon, dan kondisi tanah merupakan faktor yang mempengaruhi potensi hasil damar. Hasil rendah damar bisa juga disebabkan oleh perlakuan budaya minimal diterapkan untuk damar pohon-pohon dan situs mereka. Perawatan khusus mungkin diperlukan, seperti pemupukan dan pembersihan intensif, terutama sampai pohon mencapai sekitar 30 tahun (Sukandi, l997). harga baru-baru ini damar adalah Rp 4000, - atau US $ 0,5 per kg (di pertanian). Dalam rangka untuk mendapatkan nilai tambahan, petani harus memiliki teknologi pasca panen, sehingga harga akan meningkat.

________________________________________________________________________________________________

Agrosilvikultur dan Alley Cropping

Oleh :
Jamilah, SP. MP.

—  Keuntungan yang diharapkan dari sistem agroforestri ini ada dua yaitu produksi dan pelayanan lingkungan, seperti yang dinyatakan oleh Ong dalam Suprayogo et al (2003)“Sistem agroforestri dapat menggantikan fungsi ekosistem hutan sebagai pengatur siklus hara dan pengaruh positif terhadap lingkungan lainnya, dan di sisi lain dapat memberikan keluaran hasil yang diberikan dalam sistem pertanian tanaman semusim”.

—  Agroforestri mempunyai banyak bentuk, bila ditinjau dari segi ruang dan waktu. Ditinjau dari segi ruang agroforestri mencakup dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal.
—  Pada dimensi vertikal, peran agroforestri terutama berhubungan erat dengan pengaruhnya terhadap ketersediaan hara, penggunaan dan penyelamatan (capture) sumber daya alam.
—  Bila ditinjau dari segi waktu, dua komponen agroforestri yang berbeda dapat ditanam bersamaan atau bergiliran.

— Agar tanah tidak terkuras unsur hara maka perlu dibuat pergiliran tanaman pertanian yang  dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. Setelah beberapa kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu digantikan dengan tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam jenis leguminosae. Jenis ini dapat bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen untuk menyuburkan tanah kembali.

— Pergiliran tanaman ini juga perlu dilakukan terutama ketika lahan sudah ditanam dengan ubi kayu / singkong (Manihot sp). Singkong (Manihot sp) merupakan tanaman yang sangat ”rakus” karena menguras unsur hara di dalam tanah.
PERBAIKAN KESUBURAN TANAH OLEH AGROFORESTRI


—  Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen-komponen yang berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan hilangnya unsur hara di dalam sistem, mengoptimalkan efesiensi penggunaan air dan meminimalkan runoff serta erosi.

— Menurut Young dalam Suprayogo et al (2003) ada empat keuntungan terhadap tanah yang diperoleh melalui penerapan agroforestri antara lain adalah:
— (1) memperbaiki kesuburan tanah,
— (2) menekan terjadinya erosi
— (3) mencegah perkembangan hama dan penyakit,
— (4) menekan populasi gulma.

—  Peran utama agroforestri dalam mempertahankan kesuburan tanah, antara lain
—  melalui empat mekanisme:
—  (1) mempertahankan kandungan bahan organik tanah,
—  (2) mengurangi kehilangan hara ke lapisan tanah bawah,
—  (3) menambah N dari hasil penambatan N bebas dari udara,
—  (4) memperbaiki sifat fisik tanah,

— Teknik konservasi tanah dan air pada daerah berlereng dilakukan dengan pembuatan terasering atau melakukan penanaman mengikuti garis kontur di dalam lorong dengan menggunakan tanaman penyangga berupa campuran tanaman tahunan (perkebunan, buah-buahan, polong-polongan dan tanaman industri) sayuran dan rumput untuk pakan ternak.

—  Sistem penamaman agroforestri pada daerah berlereng dapat menggunakan Sistem Sloping Agricultural Land Technology (SALT), suatu bentuk Alley Cropping (tanaman lorong).
—  Sistem SALT diselenggarakan dalam suatu proyek di Mindanao Baptist Rural Life Center Davao Del Sur. Dalam proyek ini, dapat ditunjukkan bahwa cara bercocok tanam dan pengaturan letak tanaman, terutama di daerah berlereng, sangat berperan dalam konservasi tanah dan air, serta produksi hasil pertaniannya. Penggunaan mulsa lamtoro (Leucaena leucocephala) dapat meningkatkan kesuburan tanah dan pendapatan petani, sedangkan bahaya erosi dapat diperkecil. Pendapatan para petani dapat meningkat dua kali setelah mengikuti semua aturan yang ditentukan selama empat tahun.

—  Pokok-pokok aturan dalam penyelenggaraan SALT adalah sebagai berikut :
—  1. Penanaman lamtoro dua baris pada tanah yang telah diolah secara baik, dengan antara 0,5 meter. Setelah tingginya 3 - 4 meter dipangkas satu meter di atas tanah. Daun dan ranting lamtoro diletakkan di bawah
—  tanaman tahunan atau areal / lajur tanaman pangan.
—  2. Jarak barisan tanaman lamtoro 4 - 6 meter, tergantung pada kemiringan lahan.
—  3. Tanaman keras ditanam bersamaan dengan lamtoro dengan cara cemplongan, jarak 4 - 7 meter.
—  4. Tanaman pangan dimulai setelah batang lamtoro sebesar jari. Pengolahan tanah untuk tanaman pangan dilakukan pada lajur/ lorong yang berselang-seling dengan lajur tanaman keras atau lajur yang tidak diolah.

BENTUK-BENTUK AGROFORESTRY
—  SISTEM AGRISLVIKULTUR, YAITU PENGGUNAAN LAHAN SECARA SADAR DAN DENGAN PERTIMBANGAN YANG MASAK UNTUK MEMPRODUKSI SEKALIGUS HASIL-HASIL PERTANIAN DAN KEHUTANAN.

—  SISTEM SILVOPASTORAL, YAITU SISTEM PENGELOLAAN LAHAN HUTAN UNTUK MENGHASILKAN KAYU DAN UNTUK MEMELIHARA TERNAK.

—  SISTEM AGROSILVOPASTORAL, YAITU SISTEM PENGELOLAAN LAHAN HUTAN UNTUK MEMPRODUKSI HASIL PERTANIAN DAN KEHUTANAN SECARA BERSAMAAN, SEKALIGUS UNTUK MEMELIHARA HEWAN TERNAK.

—  SISTEM PRODUKSI TANAMAN POHON MULTI TUJUAN, YAITU SISTEM PENGELOLAAN DAN PENANAMAN BERBAGAIJENIS KAYU, YANG TIDAK HANYA UNTUK HASIL KAYUNYA, AKAN TETAPI JUGA DAUN-DAUNAN DAN BUAH-BUAHAN YANG DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI BAHAN MAKAN MANUSIA, ATAUPUN PAKAN TERNAK.

Nusa Tenggara,
Beberapa model agroforestry tradisional dari berbagai daerah (Djogo, 1995 dalam Arifin et al., 2003)  (1) ladang berpindah dimana tidak hanya ada tanaman semusim tetapi ada tanaman kerasnya.  Disebut juga Uma atau Oma, (2)  sistem pemberaan dengan pohon dan semak, (3)  tumpangsari, (4)  pekarangan, (5)  hutan di atas daerah persawahan, (6)  kebun campuran, dimana pohon dan semak dicampur dengan tanaman pangan dan makanan ternak, (7)  turi di pematang sawah, (8)  mamar:  bisa diklasifikasikan ke dalam mamar kering dan mamar basah, tergantung ada tidaknya mata air, atau mamar pisang dan mamar kelapa tergantung dominasi tanaman ini (terutama di Timor), (9) integrasi kayu bangunan dalam kebun, (10)  ongeng, kopo, (11)  pakan ternak, peternakan di padang penggembalaan, (12)  loka tua:  tempat orang memelihara tanaman penghasil nira (Arenga pinnata) dimana dikombinasikan pula dengan tanaman pangan di bawahnya, (13)  kamutu luri,   

—  (14)  pemeliharaan/penangkapan kepiting, udang di daerah bakau, (15)  sistem pagar hidup yang berfungsi ganda sebagai pengaman kebun dan sebagai sumber pakan ternak, (16) okaluri:  batas lahan ditanami dengan tanaman serbaguna, (17)  omang wike:  hutan keluarga tradisional di Sumba, (18)  Kone:  hutan keluarga tradisional di Timor,  (19)  Rau:  sistem pertanian lahan kering menetap dengan pohon penutup yang tersebar untuk meningkatkan kapasitas penangkapan air, (20) terasering tradisional dengan tanaman hidup seperti ubi kayu, pakan ternak, pisang dipadukan dengan tanaman berkayu atau semak, (21)  ngerau:  sistem pertanian menetap di pinggir hutan dengan mengusahakan tanaman semusim.  Petani menyisakan pohon penghasil buah, memangkas pohon pelindung untuk rambatan tanaman pemanjat seperti labu dan sirih.  Bagian yang miring ditanami bambu, pisang dan nangka.
Beberapa model agroforestry yang diperkenalkan dari berbagai daerah (Djogo, 1995 dalam Arifin et al., 2003):  (1)  kopi dan Tephrosia candida, (2)  hutan di atas daerah persawahan, (3)  kebun campuran, (4)  turi di pematang sawah, (5)  kebun kopi dengan dadap, (6)  kebun kopi dengan Paraserianthes sebagai pohon pelindung, (7)  integrasi kayu bangunan dalam kebun, (8)  vanili dengan gamal, (9)  larikan lamtoro,  (10)  hutan lamtoro untuk pakan,  (11)  larikan tanaman leguminosa lain, (12)  sistem tiga tingkat, (13)  hutan keluarga, (14)  cemara dan tanaman pangan, (15)  pengelolaan hutan dengan tanaman pertanian, (16)  hutan lamtoro untuk pemberaan. 
Agrosilvikultur
—  Agrisilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops).
—  Agrosilviculture : Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
—  Dalam agrisilvikultur, ditanam pohon serbaguna (lihat lebih detil pada bagian multipurpose trees) atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahanlahan pertanian (multipurpose trees/shrubs on farmlands, shelterbelt, windbreaks, atau soil conservation hedges – lihat Nair, 1989; dan Young, 1989).


—  Seringkali dijumpai kedua komponen penyusunnya merupakan tanaman berkayu (misal dalam pola pohon peneduh gamal/Gliricidia sepium pada perkebunan kakao/Theobroma cacao).
—  Sistem ini dapat juga dikategorikan sebagai agrisilvikultur (Shade trees for plantation crops – Lihat Nair, 1989). Pohon
—  gamal (jenis kehutanan) secara sengaja ditanam untuk mendukung (pelindung dan konservasi tanah) tanaman utama kakao (jenis perkebunan/pertanian).
—  Pohon peneduh juga dapat memiliki nilai ekonomi tambahan. Interaksi yang terjadi (dalam hal ini bersifat ketergantungan) dapat dilihat dari produksi
—  kakao yang menurun tanpa kehadiran pohon gamal.



TUMPANGSARI
PENGERTIAN

SUATU METODE AGRISILVIKULTUR PADA PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN, KHUSUSNYA DI HUTAN JATI.

SUATU BENTUK KERJASAMA PEKERJAAN UNTUK PERIODE TERBATAS, DIMANA TANAMAN PANGAN DITANAM MENUMPANG PADA TANAMAN POHON MUDA.

TUMPANGSARI BARANGKALI TERMASUK PRAKTEK AGRISILVIKULTUR YANG BERSIFAT SEMENTARA.

TUJUAN PELAKSANAAN TUMPANGSARI
•     MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS LAHAN HUTAN TANAMAN SEHINGGA KUALITAS TANAMAN POKOK, PRODUKSI TANAMAN TUMPANGSARI DAN KESUBURAN TANAH MENINGKAT.
•     MENINGKATKAN LAPANGAN KERJA DAN PERAN SERTA MASYARAKAT SETEMPAT DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN SECARA PARTISIPATIF, BAIK SECARA PERORANGAN MAUPUN MELALUI KELEMBAGAANNYA.
•     MEMBANTU PENYEDIAAN PANGAN BAGI WILAYAH SEKITAR HUTAN PRODUKSI.
•     MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT SETEMPAT YANG TINGGAL DI DALAM DAN SEKITAR HUTAN PRODUKSI MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN.

SASARAN KEGIATAN TUMPANGSARI
•    TERBINA DAN TERORGANISASINYA MASYARAKAT SETEMPAT DALAM WADAH KELOMPOK TANI HUTAN SEBAGAI PESERTA TUMPANGSARI DALAM PENGUSAHAAN SISTEM PENGUSAHAAN HUTAN.
•    TERSEDIANYA PANGAN BAGI MASYARAKAT DI WILAYAH SETEMPAT.
•    TERLAKSANANYA UPAYA/TINDAKAN KONSERVASI TANAH DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN.
•    TERCIPTANYA SUATU KONDISI OPTIMALISASI LAHAN PADA AREAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN.
AREAL TUMPANGSARI
AREAL TUMPANGSARI ADALAH LAHAN SELA ANTARA LARIKAN TANAMAN PADA BLOK TANAMAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN YANG DAPAT DIMANFAATKAN SELAMA JANGKA WAKTU 2 (DUA) TAHUN.

PESERTA TUMPANGSARI
PESERTA TUMPANGSARI ADALAH MASYARAKAT SETEMPAT YANG TINGGAL DI DALAM DAN DI SEKITAR HAK PENGUSAHAAN TANAMAN, ATAU MASYARAKAT TRANSMIGRASI YANG TINGGAL DI SEKITAR AREAL KERJA HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN ATAU KARYAWAN PERUSAHAAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN YANG MERUPAKAN TENAGA KERJA YANG DIDATANGKAN OLEH PERUSAHAAN DARI WILAYAH SEKITARNYA.
PERENCANAAN TUMPANGSARI
RENCANA TUMPANGSARI MERUPAKAN ACUAN PELAKSANAAN KEGIATAN YANG DISUSUN BERSAMA SETIAP TAHUN ANTARA PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN DENGAN PESERTA TUMPANGSARI.

RENCANA TUMPANGSARI YANG TELAH DISUSUN DAN DISEPAKATI BERSAMA TERSEBUT DITUANGKAN DALAM RENCANA KERJA TAHUNAN PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN (RKT-PHT).

RENCANA TUMPANGSARI YANG DISUSUN BERISIKAN:  LOKASI, LUAS, JENIS TANAMAN TUMPANGSARI, PESERTA TUMPANGSARI, ANGGARAN/BIAYA DAN LAIN-LAIN, ATAU SESUAI DENGAN KESEPAKATAN DAN ATURAN YANG BERLAKU SERTA TIDAK MERUSAK TUJUAN PEMBUATAN HUTAN ATAU TANAMAN POKOKNYA.
JENIS TANAMAN TUMPANGSARI YANG DIANJURKAN
TANAMAN POKOK BERUMUR 0 – 2 TAHUN DENGAN  JARAK TANAM
2 x 2 m/ 3 x 3 m.

TANAMAN PANGAN
PADI  GOGO MISAL VARIETAS JAILUHUR, DODOKAN/ LOKAL
JENIS KACANG-KACANGAN:  KACANG TANAH, KEDELAI, KACANG HIJAU, KACANG TUNGGAK, KACANG PANJANG.
JAGUNG
UBI JALAR
SEMANGKA
KENTANG HITAM/ KUMELI
NANAS
SAYUR-SAYURAN
WIJEN
BENGKUANG
SORGHUM
WALUH KUNING


TANAMAN OBAT DAN REMPAH-REMPAH

PULEPANDAK
NILAM
MENTHA
KUNYIT
KUMIS KUCING
JAHE
KENCUR

LAIN-LAIN
RUMPUT PAKAN TERNAK

TANAMAN POKOK BERUMUR 3 – 5 TAHUN DENGAN JARAK TANAM TIDAK DIJARANGKAN

TANAMAN PANGAN
GANYONG
GARUT
ILES-ILES
GADUNG

TANAMAN OBAT DAN REMPAH-REMPAH
PULEPANDAK
GAMBIR
LENGKUAS
KUNYIT
TEMU LAWAK

JARAK TANAM DIJARANGKAN MENJADI 4 x 4 m/ 6 x 6 m

TANAMAN PANGAN
GANYONG
GARUT
ILES-ILES
GADUNG
NANAS
TALAS
SAYUR-SAYURAN

TANAMAN OBAT DAN REMPAH-REMPAH
PULEPANDAK
PANILI
KEMUKUS
CABE JAMU
LADA
KAPULOGO
LENGKUAS
KUNYIT
JAHE
KUMIS KUCING
LEMPUNYANG

TANAMAN INDUSTRI
PISANG ABACA
RAMI

TANAMAN TUMPANGSARI YANG TIDAK DIANJURKAN

KETELA POHON
PISANG BUAH
TEBU
RUMPUT GAJAH
SEREH WANGI

JENIS TANAMAN INI TIDAK DIANJURKAN KARENA BANYAK MENYERAP  UNSUR HARA, SEHINGGA MENGURANGI KESUBURAN TANAH.
KEWAJIBAN DAN PELAKSANAAN TUMPANGSARI
KEWAJIBAN
•     PEMEGANG HPH TANAMAN WAJIB MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT DI SEKITAR DAN DI DALAM HUTAN PRODUKSI DAN ATAU DI SEKITAR AREAL KERJANYA ANTARA LAIN UNTUK MELAKSANAKAN KEGIATAN TUMPANGSARI.
•     KEWAJIBAN PELAKSANAAN TUMANGSARI SETIAP TAHUNNYA MINIMAL 20% DARI LUAS TANAMAN POKOK YANG DIRENCANAKAN UNTUK DITANAM.  KEWAJIBAN INI TIDAK BERLAKU BAGI AREAL BERAWA DAN HUTAN TANAMAN SAGU.
•     PESERTA TUMPANGSARI WAJIB MELAKSANAKAN KEGIATAN TUMPANGSARI SESUAI PERJANJIAN YANG TELAH DISEPAKATI BERSAMA DENGAN PEMEGANG HPH TANAMAN. DIDAMPING ITU PESERTA JUGA WAJIB MEMELIHARA TANAMAN POKOK KEHUTANAN.


PELAKSANAAN TUMPANGSARI
PELAKSANAAN KEGIATAN TUMPANGSARI PADA DASARNYA DILAKSANAKAN OLEH KELOMPOK TANI HUTAN YANG BERLAKU SEBAGAI WADAH PARA PESERT TUMPANGSARI.
DISAMPING SEBAGAI PESERTA TUMPANGSARI MASYARAKAT SETEMPAT JUGA SEBAGAI TENAGA KERJA DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN.
SEDANGKAN PERUSAHAAN HPH TANAMAN SEBAGAI PENDAMPING MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN KEGIATAN TUMPANGSARI:
•      PENYANDANG/ PENYEDIA DANA KEGIATAN.
•      PEMBIMBING MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN KEGIATAN.
•      MEMBANTU PEMASARAN HASIL PRODUKSI TUMPANGSARI MELALUI LEMBAGA KOPERASI YANG ADA DI LOKASI SETEMPAT.
PELAKSANAAN TUMPANGSARI DILAKUKAN DALAM BENTUK KONTRAK ATAU PENJANJIAN KERJA ANTARA PESERTA TUMPANGSARI DALAM WADAH KELOMPOK TANI HUTAN DENGAN PEMEGANG HPH TANAMAN.
KONTRAK ATAU PERJANJIAN KERJA TUMPANGSARI TERSEBUT POLA DASARNYA BERISI HAK DAN KEWAJIBAN MASING-MASING PIHAK BAIK DALAM PELAKSANAAN TUMPANGSARI MAUPUN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN.




PESERTA TUMPANGSARI DISAMPING MEMPEROLEH MANFAAT HASIL PERTANIAN YANG DIPEROLEH DALAM PELAKSANAAN TUMPANGSARI JUGA MEMPEROLEH UPAH SEBAGAI TENAGA KERJA DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN SEBAGAI AKIBAT PEMELIHARAAN/ PENGAMAN TANAMAN POKOK MEREKA.

UNTK KELANCARAN DAN KEBERHASILAN PELAKSANAAN TUMPANGSARI PEMEGANG HPH TANAMAN WAJIB MENYEDIAKAN BANTUAN BERUPA SARANA PRODUKSI DALAM BENTUK BENIH/ BIBIT TANAMAN, PUPUK, PESTISIDA SERTA PERALATAN PERTANIAN DAN LAIN-LAIN DALAM ANGGARAN TUMPANGSARI.

PENYALURAN SARANA PRODUKSI OLEH PEMEGANG HPH TANAMAN DILAKUKAN KELOMPOK TAHI HUTAN SETELAH KONTRAK/ PERJANJIAN KERJA DITANDATANGANI KEDUA BELAH PIHAK.
Pola tumpang sari Perpaduan kehutanan dan pertanian
Pertanaman Lorong (Alley Cropping)
—  Pertanaman lorong : suatu bentuk usaha tani atau penggunaan tanah yang


Alley Cropping
—  Long-term goal = food crop
—  Trees in hedgerows
—  Crops in alleys
—  Trees pruned
—  reduce shading
—  green mulch
—  Legumes favored
Alley cropping: temperate zone

—  Akar legume dalam  sistem alley cropping  (penanaman sistem jalur) berfungsi sebagai pompa mineral. Batang legume yang berada diatas tanah dalam bentuk alley cropping mampu menahan  run off dan mampu menurunkan besaran erosi tanah miring  dari 96,9 ton/ha menjadi hanya 0,8 ton/ha dan setelah tiga tahun program berjalan, balance hara tanah jadi positif artinya lebih banyak hara yang kembali kedalam tanah dibanding yang hilang



—  Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan pengaruh merugikan dari pohon, antara lain adalah:
—  •= Mengatur tajuk pohon
—  Tinggi tanaman semusim biasanya lebih rendah daripada pohon. Hal ini menyebabkan pohon dapat menciptakan naungan, sehingga menurunkan jumlah cahaya yang dapat dipergunakan tanaman semusim untuk pertumbuhannya.
—   Untuk mengurangi pengaruh merugikan pohon terhadap tanaman semusim tersebut, petani biasanya mengatur jarak tanam sekaligus melakukan pemangkasan beberapa cabang pohon.


•= Mengatur pertumbuhan akar

—  Dalam melakukan pemangkasan cabang pohon, ada dua hal yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah tinggi pangkasan dari permukaan tanah dan frekuensi pemangkasan.
—  Tinggi pangkasan batang yang terlalu dekat dengan permukaan tanah akan mendorong terbentuknya akar-akar halus pada tanah lapisan atas, sehingga peluang untuk terjadinya kompetisi akan air dan hara dengan tanaman semusim menjadi lebih besar. Hal yang sama juga akan terjadi bila frekuensi pemangkasan tinggi. Dangkalnya sistem perakaran pohon sebagai akibat pengelolaan pohon yang kurang tepat ini juga akan merugikan pertumbuhan pohon itu sendiri. Perakaran yang dangkal mengakibatkan pohon menjadi kurang tahan terhadap kekeringan pada musim kemarau.
—  Cara menanam pohon di lapangan juga menentukan kedalaman perakaran. Bibit pohon yang ditanam langsung dari biji biasanya diperoleh sistem perakaran yang cenderung lebih dalam daripada yang ditanam berupa stek batang, atau melalui persemaian dalam polibag.


—  Saran Pengelolaan Pohon:
—  •= Naungan dikurangi dengan jalan pemangkasan cabang pohon selama musim tanam, tetapi dibiarkan tumbuh pada musim kemarau untuk menekan pertumbuhan gulma (misalnya alang-alang).
—  •= Pemangkasan pertama bisa dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun.
—  •= Tinggi pangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah. Pemangkasan lebih rendah dari 75 cm akan menyebabkan pertumbuhan akar pohon terpusat pada lapisan tanah atas, sehingga menimbulkan kompetisi dengan tanaman semusim.
—  •= Frekuensi pemangkasan tidak lebih dari 3x dalam setahun. Pemangkasan tajuk yang terlalu sering mendorong terbentuknya akar halus pada lapisan atas.
—  •= Teknik menanam pohon dapat dilakukan dengan jalan menanam biji langsung di lapangan, stek atau dari bibit cabutan tergantung dari bahan tanam dan tenaga yang tersedia. Bila bahan tanam stek tersedia menanam stek lebih cepat dan
—  mengurangi populasi gulma.
_________________________________________________________________________________________________
Apicultural 
Oleh :
Jamilah, SP. MP
Tipe Apicultural yaitu kombinasi budidaya tanaman pohon dengan pemeliharaan lebah madu
Apiculture in forest farming
Peternakan Lebah Madu
  • •       Budidaya lebah madu secara ekonomis sangat menguntungkan karena :
  • •       (1) dapat menyerap tenaga kerja di pedesaan,
  • •       (2) dapat menghasilkan pendapatan ,
  • •       (3) dapat ikut mendorong keberhasilan kegiatan epenghijauan dan reboisasi,
  • •       (4) dapat menunjang usaha industri seperti batik, obat-obatan, dan kosmetik,
  • •       (5) lebah madu sangat berperan dalam pemersari berbagai jenis tanaman budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan. 
  • •       Salah satu faktor penunjang kelestarian budidaya lebah madu adalah tersedianya berbagai jenis tanaman pakan lebah (pakan alami) yang tumbuh di lahan pekarangan, tegalan, dan hutan.
  • •       Ada berbagai jenis lebah madu yang boleh  diternakkan. Di antaranya lebah dari spesis Apis dorsata, Apis cerana, dan Apis mellifera. Spesis Apis mellifera paling banyak digunakan dalam industri lebah madu. Jenis ini lebih produktif dan juga lebih jinak dibandingkan spesis Apis cerana . Racun pada sengatnya sangat sesuai untuk mengobati  berbagai jenis penyakit.


  • •       Ciri-ciri lebah madu yang baik:


  • •       Ratu lebah berupaya hidup hingga 3 tahun


  • •       Ratu lebah menghasilkan jumlah telur yang banyak


  • •       Koloni lebah banyak hasilkan madu, bee pollen, royal jelly dan propolis
  • •       Larva lebah yang dihasilkan lebih segar
  • •       Lebah biasanya lebih agresif
  • •       Memperbanyakan koloni lebah madu


  • •       Permulaan ternak lebah madu:


  • •       untuk permulaan ternakan lebah madu ini, tidak banyak yang perlu disediakan. kita hanya perlu membeli koloni lebah madu dari penternak lebah madu. Biasanya pembelian koloni ini dibuat pada waktu malam dan dilengkapi dengan kotak, kasa dan penutupnya. Buat sementara waktu, kita tidak perlu membeli koloni lebah madu dalam jumlah terlalu banyak, dan tidak juga terlalu sedikit. Dalam penyediaan kotak koloni lebah madu, biasanya perlu dibuat tiang (kayu/besi) agar kotak tidak menyentuh tanah.



  • •       Langkah-langkah untuk meningkatkan jumlah koloni lebah madu ialah:


  • •       Lokasi ternakan: Lokasi yang disukai lebah adalah tempat terbuka. Juga tiada masalah sekiranya di bawah pokok atau di kawasan panas terik, jauh dari keramaian dan banyak terdapat bunga. Dengan jumlah kawasan pemakanan yang mencukupi ini, ratu lebah dapat menghasilkan lebih banyak telur dan lebah pekerja juga lebih giat membuat sarang baru.
  • •       Suhu yang ideal: sesuai dalam sekitar 26-30°C. Di lereng pergunungan/dataran tinggi yang bersuhu normal (25°C).


  • •       Penyediaan Ratu lebah madu yang baru: untuk ditempatkan dalam koloni lebah madu yang baru.
  • •       Mengasingkan atau memisahkan koloni lebah madu: koloni lebah madu yang sudah padat, akan dipisahkan dan diletakkan ke dalam kotak koloni lebah madu yang baru dan menempatkan ratu lebah baru atau ratu lebah yang sedia ada ke kotak koloni tersebut.


  • •       Tanaman makanan yang sesuai untuk ternakan lebah madu
  • •       pokok rambutan=nektar
  • •       pokok petai belalang= nektar
  • •       pokok mangga = nektar


  • •       pokok durian = nektar 


  • •       pokok kopi = nektar + pollen 


  • •       pokok kenaf = nektar 


  • •       pokok jagung = pollen 


  • •       pokok jati= nektar 


  • •       pokok gajus = nektar
  • •       pokok longan= nektar
  • •       pokok getah = nektar
  • •       pokok petai = nektar
  • •       pokok nenas = nektar (tidak digunakan secara meluas)
  • •       pokok kekabu = nektar + pollen
  • •       pokok gelam = nektar + pollen


  • •       Peralatan penternakan lebah madu :
  • •       Kotak lebah, tempat koloni lebah madu terbuat dari kayu Suren atau Mahoni
  • •       Alat pengasapan untuk menghalau lebah madu yang agresif
  • •       jaring pelindung muka


  • •       Sisiran - yang terbuat dari rangka kayu dan ditengahnya diberi kawat sebagai penahan landasan sarang lebah madu.
  • •       Pengungkit sisiran
  • •       Pisau
 •       Sikat sisiran lebah madu
 •       Pollen Trap untuk pungut hasil Bee Pollen
  • •       Frame Royal jelly untuk pungut hasil Royal Jelly dan tempat untuk menghasilkan Ratu Lebah yang baru.
  • •       mesin pemerah madu untuk mengeluarkan madu
  • •       bekas/ baldi kutip madu
 •       Pengutip madu
 _____________________________________________________________________________________________
KARAKTERISTIK BERBAGAI POHON POTENSIAL
PENYUSUN AGROFORESTRY

Jamilah, SP. MP
Pohon Raja (Koompassia excelsa)

—  Sinonim dari spesies Koompassia excelsa ini adalah Koompassia parvifolia. Pohon hutan tropis dengan nama dagang Tualang ini memiliki nama daerah yang berbeda-beda, baik di Indonesia, maupun di berbagai negara, yaitu: Mangaris, Tapang (Kalimantan), Sialang (Sumatera), Kayu Raja (Maluku), Menggeris (Brunai Darussalam), Tualang, Kayu Raja, Sialang (Malaysia), Menggaris, Kayu Rajah (Sabah), Tapang, Kussi, Kayu Raja (Serawak), Manggis, Gino (Filipina), Yuan, Tolae (Thailand). Disebut pohon raja, karena salah satu alasannya pohon ini merupakan pohon yang tinggi dan besar, puncak tajuknya selalu menjulang berada di atas atap hutan (di atas rata-rata tajuk pohon lainnya) dengan ketinggian lebih dari 50 meter dan diameter batangnya bias mencapai rata-rata 2 meter. Daun pohon raja berukuran kecil yang mudah meloloskan angin, sehingga pada kejadian angin badai atau topan puting beliungpun, pohon ini tidak akan tumbang.


—  Di beberapa daerah, seperti di Kalimantan dan Sumatera, pohon ini banyak dipelihara secara alami oleh masyarakat karena menjadi sumber penghasil madu lebah liar. Pada cabang-cabang pohon yang tinggi menjulang biasanya menjadi sarang bagi lebah madu. Satu dahan bisa ditempati 20 sarang lebah sehingga pada satu pohon kadang bisa ditemukan 100–200 sarang lebah madu alami. Berkaitan dengan kesesuaian bagi lebah alam untuk bersarang di cabang dan ranting pohon Tualang ini, maka keberadaan pohon Tualang dalam agroforestry sangat potensial membentuk tipe Apicultural (Gambar 22).

Pohon Sentang (Azadirachta excelsa)


—  di Indonesia pohon ini dikenal pula dengan nama Kayu Bawang.
—  Kayu sentang sangat berguna untuk konstruksi ringan, mebel, panel dan vinir. Tunas muda dan bunganya dikonsumsi sebagai sayuran. Biasanya ditanam di sepanjang jalan, atau sebagai pembatas areal peternakan atau batas kebun karet. Seperti pohon neem, bijinya mengandung azadirachtin yang dapat digunakan sebagai bahan baku insektisida. Pada sistem agroforestry, pertanaman Azadirachta excelsa (pohon sentang) muda dapat ditanam secara tumpangsari dengan jagung (Gambar 23), padi gogo, kacang tanah, buncis, kedelai dan sayuran.


Pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri)


—  Pohon Ulin memiliki kayu yang sangat keras, sehingga di Jawa dikenal dengan nama kayu besi (Jawa), bulian, onglen (Sumatera); belian, tabulin, telian, ulin (Kalimantan), belian (Malaysia), tambulian (Filipina), bois de fer (Prancis), borneo eisenholz (Jerman). Nama dagangnya adalah borneo ironwood atau bilian atau kayu ulin. Pohon ini termasuk jenis pohon yang lambat tumbuh (slow growing), pertambahan diameter batangnya hanya 0.058 cm/tahun, namun bisa mencapai tinggi 50 meter (pada umur 1000 tahun) dengan diameter mencapai 220 cm.

—  Penanaman pada lahan terbuka, perlu ditanami terlebih dahulu dengan jenis tanaman lain yang bertajuk rapat sehingga mencapai instensitas cahaya di bawah tegakan sebagaimana tersebut di atas (intensitas cahaya 5-25%). Berdasarkan sifat ini, pohon Ulin dapat menjadi komponen Agroforestry dengan cara pengkayaan pada tipe penggunaan lahan yang telah ada misalnya menjadi pohon pengisi lahan sela kebun karet, kelapa sawit, atau kebun campuran (Gambar 24).

Pohon Mahoni (Swietenia mahagoni)
Pohon Pulai (Alstonia scholaris)


Pohon  Ketapang  (Terminalia  catappa)


Pohon  Mindi  (Melia azedarach)
—  Tipe Agrosilvikultural kombinasi pohon Mindi muda (umur 2 tahun) dengan jarak tanam 7 x 5 m yang lahan selanya ditanami tanaman ubi kayu di Arboretum USU Kampus Kuala Bekala, Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang (Foto dokumentasi: Abdul Rauf, 2008).
Pohon  Sengon  (Albazia falcataria)


Pohon  Sungkai  (Peronema canescens)
—  Tipe Agrosilvikultural kombinasi pohon sungkai muda (umur 2 tahun) dengan jarak tanam 5 x 5 m yang lahan selanya ditanami tanaman jagung (baru dipanen) di Arboretum USU Kampus Kuala Bekala, Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang
Pohon  Matoa (Pometia pinnata)
—  Tipe Agrosilvopastural kombinasi pohon Matoa muda (umur 2 tahun) dengan jarak tanam 7 x 7 m yang lahan selanya ditanami tanaman jagung dan rumput pakan ternak di Arboretum USU Kampus Kuala Bekala, Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang (foto kiri dan tengah) dan pohon Matoa Batak (pohon Pakam) penguat bantara sungai Bahorok di Bukit Lawang Kabupaten Langkat (foto kanan)

—  Pohon Pinus (Pinus merkusii)
—  Pohon Gerunggang (Cratoxylon arborescens)
—  Pohon Akasia (Acacia mangium)
—  Pohon Kepayang (Pangium edule)
—  Pohon Gmelina (Jati Putih)


—  Pohon Damar  (Agathis dammara)
—  Pohon Aren (Arenga pinnata)
—  Pohon Sentul (Sandoricum koetjape)
—  Jambu Mete (Anacardium occidentale)
—  Pohon Eukaliptus (Eucalyptus melliodora)


—  Petai (Parkia speciosa)
—  Pohon Jengkol (Archidendron pauciflorum)
—  Pohon Durian (Durio zibethinus)
—  Pohon Duku (Lansium domesticum)
—  Pohon Asam Gelugur (Garcinia atroviridis)
—  Pohon Alpukat (Persea americana)
—  Pohon Karet (Hevea brasiliensis)
—  Pohon Kemiri (Aleurites moluccana)
—  Pohon Pala (Myristica fragrans)
—  Pohon Sukun (Artocarpus altilis)
—  Pohon Kayu Manis (Cinnamomum verum)
—  Pohon Kelor (Moringa oliefera)
____________________________________________________________________________
Kebun Multispesies
Jamilah, SP. MP
Sistem Agroforestri Kompleks: Hutan dan Kebun
  • •       Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak.
  • •       Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai AGROFOREST (ICRAF, 1996).
  • •       Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistim agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu :
  • •       kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan
  • •       ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000). Contohnya ‘hutan damar’ di daerah Krui, Lampung Barat atau ‘hutan karet’ di Jambi.
Terbentuknya Agroforestri Kompleks
Pekarangan

Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun).
Pada fase ke dua pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam secara tumpang sari dengan tanaman semusim (fase kebun  campuran).
Pada fase ketiga beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase ‘talun’. Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun


Agroforest Kompleks: Kebun damar di Krui, Lampung Barat (De Foresta et al, 2000)
Fungsi :
  • •       (a) produksi kayu tropika (kayu pertukangan dan kayu bulat) pada masa transisi dari sistim penebangan hutan alam menuju sistim budidaya menetap untuk wilayah pedesaan,
  • •       (b) pelestarian alam yang akan muncul akibat masuknya kayu hasil agroforest ke pasar.
_________________________________________________________________________________----
PENERAPAN TEKNOLOGI AGROFORESTRY
Oleh :
Jamilah, SP. MP

—  Sedikitnya terdapat tiga  teknologi/cara/ metoda penerapan sistem agroforestry pada suatu tapak lahan yaitu:
—  (1) cara/metoda intensif (komersial),
—  (2) metoda/cara berangsur-angsur (bertahap), dan
—  (3) metoda/cara pengkayaan.

Metoda Intensif


—  Metode intensif atau metode komersial dalam membangun agroforestry di suatu lahan didasarkan pada penerapan rakitan teknologi yang sepenuhnya mempertimbangkan aspek input (modal, tenaga kerja dan teknologi), output (produksi dan pendapatan), dan bahkan outcome (dampak terhadap lingkungan, sosial dan budaya).
—  Dalam hal ini, sistem agroforestry yang akan dibangun diawali dengan proses perencanaan yang seksama, dilanjutkan dengan implementasi teknologi yang telah mempertimbangan aspek bisnis untuk menghasilkan barang dan jasa guna mensejahterakan pelakunya.


—  Ciri dari penerapan sistem agroforestry dengan metode intensif ini antara lain:
—  (1) distribusi (pembagian) tapak lahan telah diatur sedemikian rupa sesuai dengan alokasi yang ideal (optimal) antara berbagai komponen penyusunnya, misalnya antara tanaman pohon dengan tanaman semusim, atau antara penggunaan untuk tetumbuhan dengan penggunaan lain seperti untuk kolam dan atau ternak,
—  (2) agroteknologi diterapkan secara menyeluruh dan secara bersamaan terhadap setiap komponen penyusunnya sehingga diperlukan modal awal yang besar, dan
—  (3) sistem managemen telah mengikuti kaedah agribisnis.




Metoda Bertahap


—  Selain dengan cara intensif, sistem agroforestry ada yang dibangun secara bertahap atau berangsur-angsur. Pada cara ini, pembangunan sistem agroforestry diawali dengan penanaman/pembudidayaan satu atau dua jenis komoditi dan bahkan selalu diawali dengan sistem pertanaman/pembudidayaan monokultur.
—  Banyak tipe agroforestry yang dikembangkan dengan cara ini yang didasarkan pada ketersediaan modal yang terbatas, disamping berdasarkan pada saat yang tepat untuk memasukkan komponen lainnya pada komponen yang telah ada. Tipe silvopastural misalnya, bisa dan selalu diawali dengan penanaman pohon yang diatur sedemikian rupa dengan lahan sela yang ditanami tanaman rumput pakan ternak. Setelah tanaman pohon cukup dewasa sehingga dapat berfungsi sebagai peneduh bagi ternak dan rumput pakan telah tersedia cukup, maka disusul dengan memasukkan komponen ternak (sapi, kerbau, atau kambing/domba) pada lahan agroforestrynya,.


—  Tipe agrosilvikultural dapat juga dibangun dengan cara bertahap. Umumnya diawali dengan penanaman tanaman pertanian secara monokultur, baik tanaman semusim, maupun tanaman tahunan, meskipun dapat pula diawali dengan penanaman tanaman pohon yang kemudian diikuti dengan penanaman tanaman pertanian (semusim atau tahunan) pada lahan selanya. Banyak lahan pertanian monokultur yang kemudian secara berangsur diselingin dengan penanaman tanaman pohon.
—  Dalam hal ini, pada kebun kelapa sawit dewasa yang diperkiraan sekitar 5-10 tahun lagi akan dilakukan rehabilitasi, pada lahan selanya ditanami pohon meranti. Pada saat tanaman kelapa sawit ditebang (direhabilitasi), biasanya pada umur 25 tahun, pohon meranti sudah berumur 5-10 tahun. Tinggal menunggu sekitar 5-10 tahun lagi, pohon meranti sudah dapat dipanen.

Metoda Pengkayaan


—  Pada prakteknya, metode pengkayaan dengan metode bertahap dalam pembanguan sistem agroforestry sepertinya (hampir) sama. Metode pengkayaan juga memasukkan komponen penyusun lainnya (pada saat yang berbeda) ke dalam tipe agroforestry atau sistem monokultur yang telah ada. Namun, perbedaan yang mencolok terletak pada perencanaan pembangunan agroforestry tersebut.
—  Pada cara/metoda berangsur (bertahap), memasukkan komponen agroforestry berikutnya tersebut memang sudah direncanakan atau didesain sejak awal, hanya saja pemasukan komponen berikutnya ini karena menungggu saat yang tepat, sedangkan pada metode pengkayaan, pemasukan komponen penyusun berikutnya tidak direncanakan sebelumnya dan lebih didorong oleh keinginan emosional dari pemilik/petani agroforestry tersebut.


—  Metode pengkayaan dapat pula dilakukan dengan memasukkan ternak lebah (apicultural) di areal hutan lindung atau hutan konservasi, terutama pada lokasi (desa) yang berada pada zona inti kawasan penyangga hutan lindung atau taman nasional. Penanaman rumput pakan pada lahan di bawah tegakan hutan lindung juga termasuk pembangunan tipe agroforestry dengan metode pengkayaan.
—  Ciri metode pengkayaan yang mudah dikenali adalah terbentuknya tipe agroforestry dengan penempatan komponen penyusun yang tidak beraturan, juga dengan alokasi penggunaan lahan yang tidak seimbang. Kombinasi berbagai jenis tanaman tahunan pada tipe agroforestry yang dibangun dengan metode pengkayaan ini menghasilkan kebun campuran menyerupai hutan dengan posisi tanaman yang tidak beraturan sebagaimana layaknya hutan alam dengan tegakan multispesies.


—  Kebun campuran di lahan pekarangan yang banyak terdapat di pedesaan, umumnya dibangun dengan metode pengkayaan. Campuran pohon buah-buahan (umumnya mangga, jambu, rambutan, dan nangka) dengan pohon industri (seperti kelapa, cacao, bahkan kelapa sawit) yang diselingi dengan pemeliharaan ternak di lahan pekarangan tersebut, sebenarnya merupakan tipe agroforestry yang dibangun dengan cara pengkayaan.


—  Sistem agroforestry yang dibangun dengan metode pengkayaan ini umumnya tidak/belum mempertimbangan outcome (dampak), terutama dampak positif terhadap pemeliharaan lingkungan.
—  Penempatan komponen agroforestrynya tidak mempertimbangkan kaedah konservasi tanah dan air, sehingga berpeluang pada terjadinya degradasi lahan (terutama erosi tanah), meskipun terdapat tetumbuhan yang banyak, karena tanaman pohon justru banyak ditempatkan pada bagian lahan yang datar, sementara bagian lahan yang miring dibuka untuk tanaman semusim atau dibiarkan kosong.

____________________________________________________________________________________
AGROAQUAFORESTRY
&
SILVOFISHERY

—  Agroaquaculture
—  = sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis tanaman hutan dengan tanaman pertanian dan/atau kolam/sungai


—  Silvofishery
—  = kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.
—  = suatu bentuk usaha tani campuran antara kehutanan dan perikanan di pantai-pantai berawa.

SILVOFISHERY


Keuntungan
—  Penghematan biaya penanaman hutan pada pihak departemen kehutanan karena penanaman adalah tanggung jawab petani
—  Menambah pendapatan petani disekitar hutan bakau
—  Terjaminnya kembali hutan bakau


—  Tata letak tambak bervariasi menurut keadaan setempat, merupakan saluran-saluran paralel atau mengelilingi hutan
—  Salah satu persyaratan utama untuk berhasilnya sistem ini adalah nisbah luas tambak terhadap hutan mangrove adalah 1: 3 dalam setiap hektar
—  Waktu pemeliharaan ikan/udang disesuaikan dengan pertumbuhan hutan yaitu sekitar 5 tahun
Fungsi Hutan Mangrove

Manfaat ekologis ekosistem mangrove




—  Teknologi budidaya tambak dengan pola silvofishery system oleh masyarakat di Sinjai dilakukan terlebih dahulu dengan menanam bakau di wilayah pesisir Kabupaten Sinjai. Setelah bakau-bakau tersebut besar, bakaunya di tebang dan tanah yang timbul dari kegiatan penanaman bakau tersebut dibuat jadi tambak. Setelah terbentuk tambak, pada pematang tambak ditanami lagi dengan bibit bakau dan masyarakat bisa memelihara ikan bandeng (Channos channos), udang windu (Penaeus monodon) dan rumput laut (Gracillaria) di dalam tambak tersebut.
Dengan model silvofishery system tersebut diatas, aspek ekonomi masyarakat terpenuhi dari kegiatan budidaya ikan, udang dan rumput laut dalam tambak, sedangkan aspek perlindungan pantai dan konservasi bakau dilakukan dengan tetap menjaga bakau-bakau di pematang tambak dan bagian terluar dari tambak yang terbentuk dengan greenbelt sekitar 100-200 meter. Kegiatan penanaman bakau dan pembuatan tambak dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat walaupun tanpa bantuan pemerintah, sehingga konsep social forestry atau community forestry tercipta dengan sendirinya di wilayah pesisir tersebut.

—  Berdasarkan hasil studi FAO/UNDP (1982), luas hutan mangrove yang berstatus kawasan hutan di Indonesia adalah 4,25 juta ha, tapi menurut Giesen (1993) luas hutan mangrove tinggal 2,49 juta ha.
—  Berarti dalam kurun waktu 11 tahun (1982 – 1993)
—  Indonesia telah kehilangan hutan mangrove sebesar 1,76 juta ha, dengan laju degradasi sebesar 40 %. Jika laju degradasi bersifat linear dan terus berlanjut diperkirakan pada tahun 2004 luas hutan mangrove di Indonesia yang tersisa kurang dari satu juta ha.

—  Ancaman paling serius terhadap hutan mangrove umumnya adalah akibat pembukaan secara liar kawasan hutan mangrove untuk kolam budidaya (tambak/empang) ikan dan udang.
—  Hasil studi dari The Project for Sustainable Mangrove Forest Management Dep. Kehutanan dan Japan International Coorperation Agency (JICA) antara lain menyimpulkan bahwa konservasi hutan mangrove sulit tercapai jika keinginan masyarakat setempat untuk  memperoleh kehidupan yang lebih baik dari pemanfaatan hutan mangrove terabaikan.
 ___________________________________________________________________________________________

SILVOPASTORAL 
DAN
AGROSILVOPASTORAL
Oleh :
Jamilah, SP. MP
Silvopastural (Silvopastural systems)

—  Sistem silvopastural : Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture).
—  Beberapa contoh silvopastura (lihat Nair, 1989), antara lain:
—  Pohon atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau
—   produksi terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated production of animals and wood products).

Silvopastoral Systems


—  Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem ‘cut and carry’ pada pola pagar hidup/living fences of fodder hedges and shrubs; atau pohon pakan serbaguna/multipurpose fodder trees pada lahan pertanian yang disebut ‘protein bank’).
—  Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi (jasa dan produksi) bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan yang sama.
Agrosilvopastural (Agrosilvopastural systems)


—  Sistem agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan yang sama.
—  Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people).
—  Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh permudaan alam dan satwa liar (lihat Klasifikasi agroforestri berdasarkan Masa Perkembangannya). Interaksi komponen agroforetri secara alami ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar (a.l. buah-buahan untuk berbagai jenis burung), dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.


—  Terdapat beberapa contoh Agrosilvopastura di Indonesia, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa.
—  Contoh praktek agrosilvopastura yang luas diketahui adalah berbagai bentuk kebun pekarangan (home-gardens), kebun hutan (forest-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem Parak di Maninjau (Sumatera Barat) atau Lembo dan Tembawang di Kalimantan, dan berbagai bentuk kebun pekarangan serta sistem Talun di Jawa
—  (lihat a.l. Soemarwoto, et al., 1985a;b; Sardjono, 1990; De Forestra, et al., 2000).
Beberapa bentuk agroforestri yang berkembang di Jawa
Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi
Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi
Nusa Tenggara

 _______________________________________________________________________-
Tumpang Sari
PERGILIRAN TANAMAN DALAM SISTEM AGROFORESTRI

—  Keuntungan yang diharapkan dari sistem agroforestri ini ada dua yaitu produksi dan pelayanan lingkungan, seperti yang dinyatakan oleh Ong dalam Suprayogo et al (2003)“Sistem agroforestri dapat menggantikan fungsi ekosistem hutan sebagai pengatur siklus hara dan pengaruh positif terhadap lingkungan lainnya, dan di sisi lain dapat memberikan keluaran hasil yang diberikan dalam sistem pertanian tanaman semusim”.

—  Agroforestri mempunyai banyak bentuk, bila ditinjau dari segi ruang dan waktu. Ditinjau dari segi ruang agroforestri mencakup dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal.
—  Pada dimensi vertikal, peran agroforestri terutama berhubungan erat dengan pengaruhnya terhadap ketersediaan hara, penggunaan dan penyelamatan (capture) sumber daya alam.
—  Bila ditinjau dari segi waktu, dua komponen agroforestri yang berbeda dapat ditanam bersamaan atau bergiliran.

— Agar tanah tidak terkuras unsur hara maka perlu dibuat pergiliran tanaman pertanian yang  dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. Setelah beberapa kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu digantikan dengan tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam jenis leguminosae. Jenis ini dapat bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen untuk menyuburkan tanah kembali.

— Pergiliran tanaman ini juga perlu dilakukan terutama ketika lahan sudah ditanam dengan ubi kayu / singkong (Manihot sp). Singkong (Manihot sp) merupakan tanaman yang sangat ”rakus” karena menguras unsur hara di dalam tanah.
PERBAIKAN KESUBURAN TANAH OLEH AGROFORESTRI

—  Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen-komponen yang berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan hilangnya unsur hara di dalam sistem, mengoptimalkan efesiensi penggunaan air dan meminimalkan runoff serta erosi.

— Menurut Young dalam Suprayogo et al (2003) ada empat keuntungan terhadap tanah yang diperoleh melalui penerapan agroforestri antara lain adalah:
— (1) memperbaiki kesuburan tanah,
— (2) menekan terjadinya erosi
— (3) mencegah perkembangan hama dan penyakit,
— (4) menekan populasi gulma.

—  Peran utama agroforestri dalam mempertahankan kesuburan tanah, antara lain
—  melalui empat mekanisme:
—  (1) mempertahankan kandungan bahan organik tanah,
—  mengurangi kehilangan hara ke lapisan tanah bawah,
—  (3) menambah N dari hasil penambatan N bebas dari udara,
—  (4) memperbaiki sifat fisik tanah,

— Teknik konservasi tanah dan air pada daerah berlereng dilakukan dengan pembuatan terasering atau melakukan penanaman mengikuti garis kontur di dalam lorong dengan menggunakan tanaman penyangga berupa campuran tanaman tahunan (perkebunan, buah-buahan, polong-polongan dan tanaman industri) sayuran dan rumput untuk pakan ternak.

—  Sistem penamaman agroforestri pada daerah berlereng dapat menggunakan Sistem Sloping Agricultural Land Technology (SALT), suatu bentuk Alley Cropping (tanaman lorong).
—  Sistem SALT diselenggarakan dalam suatu proyek di Mindanao Baptist Rural Life Center Davao Del Sur. Dalam proyek ini, dapat ditunjukkan bahwa cara bercocok tanam dan pengaturan letak tanaman, terutama di daerah berlereng, sangat berperan dalam konservasi tanah dan air, serta produksi hasil pertaniannya. Penggunaan mulsa lamtoro (Leucaena leucocephala) dapat meningkatkan kesuburan tanah dan pendapatan petani, sedangkan bahaya erosi dapat diperkecil. Pendapatan para petani dapat meningkat dua kali setelah mengikuti semua aturan yang ditentukan selama empat tahun.

—  Pokok-pokok aturan dalam penyelenggaraan SALT adalah sebagai berikut :
—  1. Penanaman lamtoro dua baris pada tanah yang telah diolah secara baik, dengan antara 0,5 meter. Setelah tingginya 3 - 4 meter dipangkas satu meter di atas tanah. Daun dan ranting lamtoro diletakkan di bawah
—  tanaman tahunan atau areal / lajur tanaman pangan.
—  2. Jarak barisan tanaman lamtoro 4 - 6 meter, tergantung pada kemiringan lahan.
—  3. Tanaman keras ditanam bersamaan dengan lamtoro dengan cara cemplongan, jarak 4 - 7 meter.
—  4. Tanaman pangan dimulai setelah batang lamtoro sebesar jari. Pengolahan tanah untuk tanaman pangan dilakukan pada lajur/ lorong yang berselang-seling dengan lajur tanaman keras atau lajur yang tidak diolah.

Silvopastoral Systems

Windbreaks & Riparian Buffers
Forest Farming

—  Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan pengaruh merugikan dari
—  pohon, antara lain adalah:
—  •= Mengatur tajuk pohon
—  Tinggi tanaman semusim biasanya lebih rendah daripada pohon. Hal ini
—  menyebabkan pohon dapat menciptakan naungan, sehingga menurunkan
—  jumlah cahaya yang dapat dipergunakan tanaman semusim untuk
—  pertumbuhannya. Untuk mengurangi pengaruh merugikan pohon
—  terhadap tanaman semusim tersebut, petani biasanya mengatur jarak tanam
—  sekaligus melakukan pemangkasan beberapa cabang pohon.


•= Mengatur pertumbuhan akar

—  Dalam melakukan pemangkasan cabang pohon, ada dua hal yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah tinggi pangkasan dari permukaan tanah dan frekuensi pemangkasan (lihat Kolom 6). Tinggi pangkasan
—  batang yang terlalu dekat dengan permukaan tanah akan mendorong
—  terbentuknya akar-akar halus pada tanah lapisan atas, sehingga peluang untuk terjadinya kompetisi akan air dan hara dengan tanaman semusim menjadi lebih besar. Hal yang sama juga akan terjadi bila frekuensi pemangkasan tinggi. Dangkalnya sistem perakaran pohon sebagai akibat pengelolaan pohon yang kurang tepat ini juga akan merugikan pertumbuhan pohon itu sendiri. Perakaran yang dangkal mengakibatkan pohon menjadi kurang tahan terhadap kekeringan pada musim kemarau.
—  Cara menanam pohon di lapangan juga menentukan ke dalaman
—  perakaran. Bibit pohon yang ditanam langsung dari biji biasanya diperoleh
—  sistem perakaran yang cenderung lebih dalam daripada yang ditanam berupa stek batang, atau melalui persemaian dalam polibag.


—  Saran Pengelolaan Pohon:
—  •= Naungan dikurangi dengan jalan pemangkasan cabang pohon selama musim
—  tanam, tetapi dibiarkan tumbuh pada musim kemarau untuk menekan pertumbuhan
—  gulma (misalnya alang-alang).
—  •= Pemangkasan pertama bisa dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun.
—  •= Tinggi pangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah. Pemangkasan lebih
—  rendah dari 75 cm akan menyebabkan pertumbuhan akar pohon terpusat pada
—  lapisan tanah atas, sehingga menimbulkan kompetisi dengan tanaman semusim.
—  •= Frekuensi pemangkasan tidak lebih dari 3x dalam setahun. Pemangkasan tajuk
—  yang terlalu sering mendorong terbentuknya akar halus pada lapisan atas.
—  •= Teknik menanam pohon dapat dilakukan dengan jalan menanam biji langsung di
—  lapangan, stek atau dari bibit cabutan tergantung dari bahan tanam dan tenaga
—  yang tersedia. Bila bahan tanam stek tersedia menanam stek lebih cepat dan
—  mengurangi populasi gulma.